Memahami Sains Perilaku di Balik Jatuh Cinta

Sejak awal penciptaan manusia, cinta sudah menjadi dasar kehidupan. Pada awalnya, kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain muncul dari naluri untuk bertahan hidup dan melindungi spesies manusia. Namun, cinta dan hubungan memberikan manfaat yang jauh lebih dalam daripada respons sederhana terhadap naluri untuk bertahan hidup. Kepuasan dan kebahagiaan yang berasal dari cinta mendorong manusia untuk mencari hubungan yang stabil dan bertahan lama. Helen Fisher, seorang antropolog yang meneliti perilaku manusia ketika jatuh cinta, mengemukakan bahwa jatuh cinta merupakan universal craving, dimana semua orang dapat merasakan keinginan yang kuat untuk bersama dengan seseorang. Selaras dengan hal tersebut, dalam hierarki kebutuhan yang dikemukakan Abraham Maslow, cinta dan rasa memiliki menjadi salah satu kebutuhan dasar yang memotivasi perilaku manusia. 

Cinta itu buta

Familiar dengan kalimat di atas? Ketika sedang jatuh cinta, manusia merasakan emosi positif yang sangat intens. Para peneliti menemukan bahwa emosi yang intens ini diasosiasikan dengan penurunan kontrol kognitif yang mempengaruhi kemampuan kita untuk berpikir kritis dan mengambil keputusan. Euforia yang terjadi di dalam otak memusatkan perhatian kita pada satu orang yang spesifik, seolah-olah dunia hanya berpusat pada dirinya. Hal tersebut juga mendorong kita untuk rela melakukan apapun demi orang lain, meskipun terkadang tidak masuk akal. Tidak heran lagi mengapa kebanyakan orang cenderung bertingkah konyol saat jatuh cinta, dan menjadi apa yang sering netizen sebut dengan budak cinta.

Keterbatasan dalam mengontrol pikiran yang cenderung bersifat obsesif ini membuat kita sering gagal mengevaluasi keadaan dan lingkungan sekitar secara objektif, sehingga mengarahkan kita pada keputusan-keputusan yang tidak rasional. Kita menjadi lebih rentan terhadap bias dan mengandalkan jalan pintas bahkan untuk mengambil keputusan yang mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang. Berikut adalah beberapa bias yang sering muncul ketika jatuh cinta.

Halo Effect

Halo effect terjadi ketika suatu karakteristik yang positif dan spesifik menentukan bagaimana individu dilihat oleh orang lain pada karakteristik lain yang tidak berhubungan. Misalnya, ketika kita bertemu dengan orang yang menarik secara fisik, kita akan mengasosiasikan karakteristik-karakteristik baik lainnya, seperti kecerdasan dan kejujuran, kepada orang itu. Hal ini sangat umum terjadi ketika kita menyukai seseorang atau berada dalam tahap awal hubungan romantis. 

Similarity Bias

Kita cenderung menyukai orang-orang yang memiliki kesamaan dengan diri kita. Entah itu penampilan, opini, gaya hidup atau bahkan hal-hal sepele seperti kesamaan makanan dan warna favorit. Adanya kesamaan pada satu atau dua hal bisa memunculkan perasaan familiar. Bias ini seringkali membuat kita lebih bersedia menolong atau mengabulkan permintaan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan kita.

Sunk Cost Fallacy

Menjalani hubungan romantis tentu melibatkan pengorbanan, seperti waktu, tenaga, dan bahkan uang. Berdasarkan social exchange theory, manusia cenderung akan bertahan dalam hubungan yang memberikan keuntungan (reward) lebih besar dibandingkan pengorbanan yang perlu dilakukan. Akan tetapi, pada penerapannya, kita tidak bersedia untuk menyerah begitu saja hanya karena tidak mendapatkan keuntungan yang kita inginkan. Justru karena “investasi” yang sudah kita buat, kita terdorong untuk tetap mempertahankan hubungan itu meskipun kita tidak merasa bahagia menjalaninya. Pola pikir ini terbentuk karena ketakutan bahwa “investasi” tersebut akan menjadi sia-sia jika kita menyerah. Individu yang terjebak dalam hubungan yang toksik seringkali menemukan kesulitan untuk keluar dari hubungan tersebut karena bias ini. 

Negativity Bias

Manusia memiliki kecenderungan untuk lebih fokus dan peka dalam merespon kejadian, informasi, serta emosi negatif dibandingkan hal-hal yang bersifat positif atau netral. Pada dasarnya, kecenderungan ini merupakan hasil evolusi perkembangan otak manusia dalam mendeteksi bahaya untuk melindungi diri dan kelompoknya. Dalam hubungan romantis, tidak bisa dipungkiri pasti ada perbedaan pendapat, pertengkaran, atau kejadian tidak menyenangkan yang sebenarnya wajar terjadi. Alih-alih berfokus pada penyelesaian, individu yang membiarkan dirinya terjebak dalam bias ini cenderung membesar-besarkan kesalahan pasangannya yang bahkan belum tentu benar. Sementara itu, karakteristik positif mengenai pasangan dan hubungannya sering diabaikan. Impuls tidak rasional ini dapat berkembang menjadi pola yang bersifat otomatis. Ketika seseorang berasumsi bahwa hubungannya tidak akan berjalan dengan baik, misalnya pasangannya tidak akan bisa dipercaya, maka secara otomatis ia akan menjadi defensif dan mempersiapkan diri bahkan ketika hal tersebut belum terjadi. Ia menjadi lebih mudah curiga dan merasa tidak aman dalam hubungan tersebut. Respon tersebut mungkin terasa sangat intuitif bagi orang yang mengalami bias ini, tetapi bagi pasangannya justru bisa membingungkan dan menyebabkan masalah dalam hubungan tersebut.

Untuk lebih mudah memahami beberapa bias yang sering terjadi dalam tahap menjalin hubungan ini, kita bisa mencontohkannya ke dalam suatu kasus. Misal si “A” memiliki ketertarikan kepada “B” karena memiliki hobi dan passion yang sama. Karena sering bertemu dan berinteraksi bersama, “A” selalu mengabulkan apapun permintaan “B”, bahkan walaupun itu permintaan yang cenderung negatif. Hal ini terjadi karena “A” yang tertarik kepada “B”, kemudian memiliki hobi dan passion yang sama, membuat “A” akan melakukan apapun karena “B” adalah orang yang se-tipe dengannya, kebahagiaan “B” maka kebahagiaan “A” pula. Hal inilah yang disebut Similarity Bias. Ketika sudah memulai hubungan yang lebih serius atau pacaran, mindset “A” akan mulai mengasosiasikannya dengan perilaku “B”. Karena memiliki hobi dan passion yang sama, fisik yang rupawan, seakan-akan perilaku “B” cenderung akan baik pula, “A” akan merasa bahwa apapun yang dilakukan “B” itu benar, dan tidak ada kesalahan dalam dirinya, bahkan terkadang “A” akan merasa bahwa semua kesalahan terletak pada dirinya. Hal inilah yang disebut dengan halo effect. Halo effect yang berkepanjangan juga bisa mengacu pada bias baru, yaitu negativity bias. Ketika terjadi suatu permasalahan dan pertengkaran, “A” akan merasa terguncang karena selama ini dia merasa bahwa “B” selalu baik dan benar. Dari guncangan itu, “A” cenderung membawa perasaan curiga, takut, panik, dan perasaan lain dalam dirinya yang mendorong “A” untuk menurunkan tingkat kepercayaannya pada si “B”. Padahal, secara ideal, ketika terjadi permasalahan dan pertengkaran, hal ini harus dibicarakan baik-baik dan menemukan solusi bersama yang dapat mempertahankan hubungan, bukan malah menumbuhkan prasangka. Beda cerita dengan kasus riil sunk cost fallacy. Dalam hal ini “A” akan cenderung memaafkan “B” dan menganggap bahwa semua baik-baik saja, walaupun masalah yang terjadi sudah tidak wajar dan menumpuk, dan secara ideal hubungan tersebut lebih baik diakhiri, karena mengarah ke hubungan yang toxic. Hal ini terjadi karena “A” merasa bahwa dia sudah banyak menginvestasikan waktu, materi, dan tenaga kepada “B”, dan tidak siap untuk memulai dari awal dengan orang yang baru. 

Bagaimana Mengatasinya ?

Dari beberapa biasa dan contoh kasus tersebut, pasti teman-teman ingin terhindar dan memiliki hubungan yang sehat, langgeng, dan harmonis bukan? Lalu, bagaimana kita menghadapi bias tersebut dan membentuk hubungan yang ideal?

Ciptakan Positive Illusion 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari State University of New York dan University of British Columbia, ilusi positif berperan penting dalam mempertahankan hubungan romantis. Seseorang yang merasa yakin bahwa pasangannya memenuhi standar yang mereka inginkan dari seorang pasangan merasa lebih bahagia dan puas dengan hubungannya. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mengidealkan pasangan dapat menjauhkan kita dari perilaku mengontrol pasangan dan terus menerus mengevaluasi kecocokan dalam hubungan. Mengidealkan pasangan bukan berarti menaruh ekspektasi yang tinggi pada pasangan, melainkan melihat lebih dalam dan mendefinisikan ulang kualitas-kualitas yang kita anggap sebagai “pasangan ideal” sesuai kelebihan yang kita lihat dalam diri pasangan. Di sisi yang lain, ketika pasangan mengetahui bahwa kita memiliki konsep ideal tersebut, mereka akan terdorong untuk berusaha memenuhinya (self-fulfilling prophecy).

Tumbuhkan budaya saling “menghargai” dan “apresiasi”

Setiap individu tentunya ingin dihargai dan diapresiasi ketika mereka telah melakukan atau menggapai sesuatu oleh orang terkasih, termasuk pasangan. Biasakan untuk selalu menghargai hal positif apapun yang dilakukan oleh pasangan, boleh memberikan saran, namun tidak boleh memaksakan kehendak dan menggurui. Menghargai jerih payah yang sudah pasangan lakukan merupakan pondasi penting yang harus dipupuk agar tercipta hubungan yang harmonis. Selain “menghargai”, memberikan “apresiasi” juga sangat penting dilakukan baik hal itu adalah kesuksesan maupun kegagalan. Adanya apresiasi membuat pasangan menjadi semangat dan merasa bahwa kita menghargai harapan dan segala mimpi yang ingin dia lakukan. Mindset dan perasaan positif yang terbentuk 

karena menghargai dan mengapresiasi juga dapat mengatasi negativity bias ketika misalnya permasalahan atau pertengkaran terjadi.

Bentuk komunikasi yang sehat 

Dalam menjalin hubungan, sedari awal kita harus membentuk komunikasi yang terbuka dan jujur sebagai pondasi. Komunikasi mengenai harapan, ekspektasi, dan kebutuhan masing-masing. Dua orang yang berkomitmen dalam menjalin hubungan harus bisa memahami kondisi dan prioritas masing-masing agar rasa saling mendukung juga tumbuh seiring berjalannya waktu. Menurut Better Health Channel (2019), komunikasi yang sehat bisa berupa menyediakan waktu untuk berkomunikasi in-depth tanpa distraksi handphone, komputer, dan bentuk lainnya, bicarakan hal yang ingin disampaikan secara clear dan terstruktur, serta dengarkan pendapat pasangan secara seksama (tidak menggurui). Sehingga, dari komunikasi yang sehat, akan tercipta pola interaksi yang sehat pula dalam hubungan.

Ciptakan batasan yang sehat 

Dalam menjaga hubungan yang sehat, menciptakan batasan merupakan pondasi lain yang harus dibangun, selain budaya menghargai dan apresiasi, serta komunikasi yang sehat. Menciptakan batasan akan membuat pasangan saling memahami satu sama lain, terutama dari sisi emosional, hubungan apa yang ingin dijalankan oleh kedua belah pihak. Namun, yang peru menjadi catatan, batasan yang dibuat bukanlah untuk mengekang atau sebagai tanda ketidakpercayaan kepada pasangan namun sebagai bentuk ekspresi mengenai apa saja yang membuat pasangan saling merasa nyaman. Batasan yang dibuat harus tetap wajar, seperti contohnya masing-masing pihak masih bisa berkumpul bersama teman tanpa pasangan, mengikuti kegiatan dan hobi yang disukai, tidak perlu berbagi kata kunci surel, akun media sosial, ataupun telepon, serta menghargai kesukaan dan kebutuhan pribadi masing masing.

Berhenti membandingkan dengan pasangan lain 

Rumput tetangga lebih hijau. Pepatah ini juga berlaku kepada pasangan yang sedang menjalin hubungan. Perasaan ingin memiliki gaya hubungan atau apapun itu seperti pasangan lain merupakan hal yang wajar, namun yang perlu diingat adalah, setiap pasangan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Membanding-bandingkan dengan pasangan lain bisa merusak harmonisnya sebuah hubungan, karena muncul rasa tidak dihargai, tidak puas, mindset yang terus negatif terhadap pasangan kita sendiri. Oleh karena itu, selalu bersyukur dengan semua hal yang telah dilalui pasangan merupakan langkah tepat daripada membanding-bandingkan dengan pasangan lain. Hargai setiap waktu bersama, ambil value positif, dan mengembangkan diri bersama ke arah yang lebih baik. 

Saat jatuh cinta dan menjalin hubungan pun, ada saja tantangan dan halangan yang dapat menimpa diri kita, baik dari sisi internal (bias), maupun eksternal (perilaku). Kodrat jatuh cinta yang sejati adalah saling mendukung dan menguatkan, layaknya takdir manusia memang diciptakan secara berpasang-pasangan. Oleh karena itu, dalam menghadapi bias yang muncul dan mempertahankan hubungan yang harmonis, alangkah baiknya kita merefleksikan kembali apa saja yang sudah dilalui bersama, dan mengambil pelajaran darinya. Tips-tips di atas bisa teman-teman implementasikan dalam keseharian agar tercipta hubungan yang lebih sehat dan harmonis. Teman-teman juga bisa mengulik lebih jauh mengenai ilmu perilaku yang memiliki peran penting di balik fenomena jatuh cinta dan membina hubungan. 

Referensi : 

  • Pillow DR, Malone GP, Hale WJ. (2015) The need to belong and its association with fully satisfying relationships: A tale of two measures. Personality and  Individual Differences, 74, 259-264. doi:10.1016/j.paid.2014.10.031