Membongkar Perilaku Di Balik Tren Investasi: Sekadar ikut-ikutan atau beneran cari cuan?

We simply attempt to be fearful when others are greedy and to be greedy only when others are fearful.” – Warren Buffet

Program #yuknabungsaham yang digaungkan pemerintah sejak tahun 2017 memang memberikan dorongan positif bagi kalangan awam untuk mulai berinvestasi di pasar modal. Belum lagi maraknya ajakan influencer di sosial media serta iming-iming “cuan” dengan cara minim usaha, hal ini semakin menarik minat para generasi muda untuk terjun berinvestasi di pasar modal. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa ada beberapa pihak yang justru menunggangi momen ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau bahkan mendorong masyarakat awam berbuat nekat sebelum mengerti betul esensi dari investasi di pasar modal.

Beberapa tahun terakhir, berbagai sumber data menunjukkan bahwa generasi milenial mulai mendominasi pasar investasi. Dilansir dari Lokadata tahun 2018, jumlah investor dan volume transaksi SBR (Saving Bond Retail) didominasi oleh penduduk usia 18-25 tahun yaitu 41%, serta penduduk usia 25-40 tahun sebesar 36.7%. Hal ini juga ditandai dengan pesatnya pertumbuhan aplikasi investasi daring yang menawarkan berbagai keuntungan dan kemudahan investasi yang secara spesifik dibuat untuk menyasar generasi millenial. Cukup dengan modal minimal Rp.100,000, kini kalangan manapun dapat menabung uang dalam bentuk investasi. Sehingga, paradigma investor adalah orang yang sudah stabil secara keuangan dan padat modal, mulai tergantikan dengan adanya tren bahwa semua orang bisa berinvestasi. 

Namun, perkembangan positif ini tentunya mengundang berbagai spekulator negatif yang ingin memanfaatkan momen ini untuk meraih keuntungan individu atau perusahaan mereka sendiri. Dengan iming-iming pengembalian dan upside yang sangat tinggi, mereka menargetkan ketidaktahuan para millennials yang masih awam dalam berinvestasi. Di Indonesia sendiri, belum lama ini santer terdengar bahwa ada sebuah perusahaan yang memakai jasa beberapa Influencers ternama dengan jutaan pengikut, untuk mempromosikan bahwa imbal balik saham mereka sangat prospektif dan menggiurkan. Para influencers ini memberikan testimoni bahwa dengan hanya berinvestasi selama 2-3 minggu, nilai saham sudah naik 20-30%. Alhasil, saham tersebut melejit tinggi pada tanggal 5 januari 2021, naik sebesar 350 poin atau 8.33%. Kejadian ini mengundang banyak kritik, khususnya dari pakar investasi dan analis saham yang mengkhawatirkan adanya indikasi “menggoreng” saham dalam fenomena ini, apalagi sampai memakai jasa influencers kondang di Indonesia untuk menggiring perilaku pada segmen pasar generasi milenial. Para Influencers ini pun sudah dipanggil oleh Bursa Efek Indonesia untuk memberikan keterangan lebih lanjut terhadap endorsement saham tersebut. 

Fenomena yang menarik untuk dikaji dari berita tersebut adalah bagaimana manusia memiliki kecenderungan yang tinggi untuk belajar dari lingkungan sosial mereka. Bila orang lain sukses melakukan suatu hal, wajar bagi mereka untuk menilai bahwa hal tersebut juga berhasil untuk diaplikasikan pada diri sendiri. Ederer (2014) menjelaskan terjadinya fenomena herding (ikut-ikutan) ini ditengarai oleh faktor social learning tersebut. Meningkatnya investor muda beberapa waktu belakangan di Indonesia bisa jadi disebabkan oleh pengaruh social learning ini. Belum lagi di masa pandemi seperti saat ini, banyak orang yang membutuhkan uang cepat. Ironisnya, uang cepat seringkali diasosiasikan dengan trading saham.

Dalam perspektif ilmu perilaku, manusia memang memiliki kecenderungan untuk mencari jalan pintas. Hal ini disebabkan oleh keberadaan dua sistem kognitif yang disebutkan Richard Thaler dalam bukunya, Nudge, untuk menjelaskan perilaku manusia yakni: Sistem Reflektif dan Sistem Otomatis. Sistem otomatis akan cenderung membuat individu melakukan hal berdasarkan insting manusia dan mencari jalan pintas. Ditambah lagi prinsip “The Power of Kepepet” sudah menjadi barang yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Faktor-faktor seperti iming-iming dapat cuan dari influencer, butuh uang cepat untuk memenuhi kebutuhan di kala pandemi, dan menghalalkan segala cara semakin mendorong seseorang untuk berbuat hal nekat. Dalam keadaan terdesak, manusia secara alamiah akan mengabaikan risiko yang mungkin bisa dia hadapi di masa depan.Salah satu fenomenanya adalah mendapatkan uang cepat dari investasi saham dengan cara berhutang. Padahal investasi saham tidak bekerja dengan cara demikian.

KEWAJIBAN NOMOR SATU, INVESTASI KEMUDIAN

Untuk mencegah efek di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati sebelum memutuskan untuk berinvestasi. 

  1. Pertama, memenuhi kebutuhan yang sifatnya prioritas terlebih dahulu. Kita bisa membuat rencana keuangan dan mengalokasikannya ke beberapa kebutuhan prioritas terlebih dahulu, contohnya kebutuhan primer, membayar SPP Pendidikan dan utilitas (listrik, air) di kos-kosan, serta kebutuhan esensial lain. 
  2. Setelah segala kebutuhan prioritas terpenuhi, barulah kita bisa mengalokasikannya untuk tujuan finansial kita yang lain, yaitu:
    • Melunasi hutang haruslah menjadi prioritas utama. Dengan melunasi hutang, kemampuan finansial kita bisa meningkat dan lebih optimal dalam berinvestasi. Hindari hutang konsumtif karena intensitasnya yang tinggi akan membuat kita memiliki banyak cicilan dan membuat kemampuan finansial kita turun. 
    • Tahap selanjutnya adalah menyiapkan proteksi dalam bentuk dana darurat dan asuransi. Dana darurat dan asuransi bersifat wajib dalam pengelolaan keuangan pribadi dari perspektif manajemen risiko. Di dunia ini tidak ada yang pasti, sehingga diusahakan untuk memiliki dana darurat dan asuransi dalam rangka mengantisipasi risiko-risiko yang akan datang tersebut. Dana darurat sendiri sebaiknya memiliki tabungan yang terpisah agar tidak tercampur dan dapat digunakan di saat-saat darurat. Jumlah ideal dana darurat bagi yang belum menikah sebesar 3-6 kali dari pengeluaran bulanan. Sementara, bagi yang telah menikah, setidaknya memiliki dana darurat sebesar 9 kali dari pengeluaran bulanan rumah tangga.
    • Setelah semua terpenuhi dan masih ada sisa uang ‘dingin’, barulah kemudian kita dapat menyisihkan uang untuk diinvestasikan. Jangan sampai uang yang kita investasikan, malah membuat kebutuhan prioritas jangka pendek kita tidak terpenuhi.

SUDAH TERLANJUR INVESTASI? WASPADAI HAL BERIKUT

Namun bagi yang sudah terlanjur nyemplung di dunia investasi, ada beberapa bias perilaku yang perlu kamu ketahui dalam praktik investasi dan trading. Pentingnya mengetahui bias ini adalah agar kamu tidak salah dalam mengambil keputusan investasi sehingga justru akan merugikanmu lebih banyak di masa depan. Berikut ini merupakan beberapa contoh bias perilaku yang mungkin dialami oleh investor:

1. Overconfidence (Percaya Diri Berlebih)

Bias perilaku overconfidence atau percaya diri berlebihan ini pada umumnya terjadi pada seseorang yang sudah lama berkecimpung dalam investasi pasar modal. Dijelaskan oleh Fabre dan Heude (2009) overconfidence merupakan kecenderungan seseorang untuk memberikan estimasi berlebihan pada peluang keberhasilan hal yang dia lakukan dan bias ini erat berkaitan dengan bias optimisme. Biasanya seseorang yang baru memulai untuk investasi juga memiliki rasa percaya diri yang besar untuk mendapatkan return (imbal hasil). Hal tersebut disebabkan oleh optimisme bahwa portofolio yang dipilih sudah aman dan mereka cenderung mengabaikan risiko fundamental atau sentimen pasar yang mungkin terjadi. Rasa kepercayaan diri berlebih ini juga bisa jadi timbul karena adanya Dunning-Kruger Effect yaitu tingkat kepercayaan diri yang tinggi berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki. Efek dari bias overconfidence ini adalah abai terhadap risiko serta kemungkinan salah memilih portofolio yang menimbulkan kerugian di masa mendatang.

2. Loss Aversion (Ketakutan Akan Kehilangan)

Berikutnya merupakan bias yang paling umum terjadi pada manusia yakni loss aversion, sebuah bias yang memungkinkan individu untuk sebisa mungkin menghindari kerugian dan terus meraup keuntungan. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepuasan ketika mendapatkan keuntungan lebih kecil daripada tingkat kesedihan ketika mengalami kerugian. Wajar bila seseorang berinvestasi untuk mendapatkan keuntungan maksimal dan kerugian minimal, namun yang perlu diwaspadai oleh investor adalah keinginan untuk menutupi kerugian yang sebetulnya tidak seberapa dengan menunda-nunda cut loss (segera menjual saham sebelum semakin merugi). Tidak sedikit kasus investor yang terus menyimpan salah satu portofolio dengan berharap bahwa portofolio tersebut akan bounce back lebih besar di masa mendatang tapi justru menghasilkan kerugian yang jauh lebih banyak bagi investor itu sendiri. Investor yang bijak akan belajar banyak dari Bapak Investasi Warren Buffet, baru-baru ini Warren Buffet menjual semua saham industri penerbangan yang dia miliki sebagai bentuk antisipasi atas turunnya profit dari bisnis transportasi di masa pandemi. Warren Buffet juga memanfaatkan market crash untuk membeli saham-saham terbaik dengan harga murah. Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari keputusan Warren Buffet tersebut adalah peka terhadap keadaan ekonomi dan ambil keputusan yang tepat di waktu yang tepat.

3. Bounded Rationality (Keterbatasan Rasionalitas)

Ilmu ekonomi mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk yang rasional, memiliki kemampuan berhitung yang baik dan dapat mengambil keputusan secara efektif dan efisien. Sayangnya, manusia juga tak luput dari absennya kemampuan menghitung itulah yang disebut sebagai Bounded Rationality. Simon (1955) menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan kognitif dalam melakukan perhitungan, keterbatasan ilmu pengetahuan soal statistik dan matematika, serta keterbatasan memori. Relevansi bias ini terhadap investasi adalah keterbatasan kita dalam memahami kemungkinan terjadi kesalahan penghitungan terhadap imbal hasil secara eksponensial, kesalahan terhadap perhitungan tingkat bunga sebagai pembanding dengan imbal hasil yang kita harapkan, serta yang paling ekstrem adalah menyebabkan perilaku excess borrowing atau pinjaman berlebihan. Bahkan fenomena ini sudah terjadi, terdapat seorang individu yang mengajukan pinjaman untuk digunakan sebagai modal investasi di pasar modal dengan harapan imbal hasil investasi tersebut dapat melunasi hutang yang diajukannya. Yang perlu diperhatikan dalam berinvestasi, terutama di pasar modal, adalah jangan pernah menggunakan uang panas untuk investasi.

4. Market Overreaction (Reaksi Pasar yang Berlebihan)

Tidak hanya terjadi pada investor pemula saja, market overreaction juga dapat terjadi pada investor yang sudah berpengalaman. DeBondt dan Thaler (1985) menjelaskan bahwa fenomena market overreaction ini timbul ketika harga saham mengalami pergerakan ekstrem karena reaksi berlebihan investor terhadap ketersediaan sebuah informasi. Pada hipotesis pasar efisien menurut Fama (1970), sebuah harga saham mencerminkan informasi yang terdapat pada perusahaan tersebut. Tanpa pengetahuan yang cukup mengenai informasi apa saja yang dapat membentuk harga sebuah saham, investor pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan apakah pasar sedang bereaksi berlebihan atau normal? Sehingga kesalahan dalam merespon hal tersebut dapat membuat investor mengambil keputusan yang salah antara lain: buy atau sell di waktu yang tidak tepat atau malah membeli saham yang ternyata adalah saham gorengan. Untuk menghindari bias ini, investor perlu bersikap tenang dan tentu saja memiliki kemampuan yang cukup mumpuni dalam melakukan analisis. Yang jelas, tidak bertindak gegabah dan ikut-ikutan merupakan kunci untuk menghindari keputusan yang berisiko lebih besar di kemudian hari.

Setelah mengetahui beberapa bias yang kemungkinan dapat mempengaruhi individu dalam berinvestasi atau trading di pasar modal, kamu juga perlu tahu tips dan trik sebelum mulai berinvestasi.  Berikut beberapa tips yang telah kami rangkum:

1. Tentukan tujuan dan strategi investasi 

Sebelum berinvestasi, kita harus menentukan tujuan dari investasi kita. Apakah kita berniat melakukan investasi jangka pendek atau jangka panjang, serta strategi apa yang mau diadopsi, apakah strategi aktif, pasif, atau campuran. Bagi kita yang berniat investasi jangka panjang, maka yang paling ideal adalah strategi pasif, karena kita tidak membutuhkan imbal hasil (return) yang cepat. Menentukan tujuan dan strategi ini sangat penting, karena ketidakcocokan antara tujuan dan strategi akan menyebabkan hasil investasi kita juga tidak sesuai ekspektasi. 

2. Hindari berekspektasi pada uang cepat 

Salah satu godaan terbesar para investor adalah melihat upside harga saham yang sangat signifikan, sehingga pastinya tergiur untuk membeli saham tersebut karena keuntungan yang bisa didapatkan dengan cepat. Pada dasarnya investasi tidak menjamin seseorang akan mendapatkan keuntungan dengan cara yang cepat. Sama seperti hal lain, investasi juga membutuhkan proses. Bila terdapat iming-iming keuntungan tinggi dan cepat, investor harus waspada. Disinilah kemampuan analisis fundamental serta analisis teknis diperlukan sebelum mengambil keputusan buy atau sell.

3. Pegang prinsip pelan-pelan dan tidak gegabah 

Biasanya saat baru mulai investasi, kita gemes untuk bisa membeli saham di banyak perusahaan yang terlihat menguntungkan. Padahal untuk membeli suatu saham, diperlukan analisis fundamental dan analisis teknis yang kuat, tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Prinsip pelan-pelan dan tidak gegabah dalam berinvestasi harus diimplementasikan baik saat baru memulai investasi maupun saat sudah terbiasa untuk berinvestasi. Investasi di pasar modal membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian tinggi, apalagi ketika jumlah uang yang kita investasikan semakin tinggi. Oleh sebab itu, bagi pemula lebih disarankan untuk berinvestasi pada reksa dana karena selain risiko lebih rendah karena diversifikasi portofolio, penanggung jawab portofolio adalah manajer investasi yang biasanya lebih memahami pasar dan memiliki basis analisis teknis serta fundamental yang dapat dipercaya.

4. Hindari kesalahan perhitungan probabilitas

Ketika mau membeli suatu saham, tentunya kita bisa menganalisis probabilitas pengembalian dengan analisis teknis. Namun, pada kenyataannya, banyak sekali yang “salah hitung”. Sehingga hasil investasi tidak sesuai dengan target di awal. Kita harus bisa memastikan bahwa perhitungan yang kita lakukan sudah sesuai dengan melakukan pengecekan  di semua angka input, serta bisa memvalidasi model perhitungan ke ahli atau orang yang sudah berpengalaman berinvestasi. 

5. Pahami ilmu investasi sebelum memulai investasi 

Investasi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Banyak ilmu yang harus dikuasai dulu sebelum memutuskan berinvestasi. Sederhananya, kita bisa mulai dengan mengenali produk-produk investasi beserta istilah-istilah penting dalam berinvestasi lewat berbagai seminar, pelatihan, dan kelas khusus yang saat ini juga sudah banyak ditawarkan di sosial media. Selain produk dan istilah, penting juga untuk mengenali macam-macam strategi investasi dan memilih mana yang cocok dengan karakter dan tujuan investasi kita. Memilih saham pun memiliki analisis tersendiri, yang pada umumnya adalah analisis fundamental, analisis yang bersifat teknis, dan sentimen pasar. Berbagai hal dasar ini lebih baik dikuasai dulu untuk terhindar dari kerugian saat berinvestasi. 

6. Konsultasi dengan ahli atau orang yang berpengalaman dalam berinvestasi 

Dengan semakin kompleksnya strategi dan perilaku investasi, ada baiknya kita juga melakukan konsultasi dengan para ahli atau dengan teman yang sudah aktif terjun di dunia investasi. Tujuannya adalah kita bisa mendapatkan gambaran riil serta tips dan trik dari pengalaman mereka. Kita bisa tahu mana  loopholes yang harus kita hindari saat berinvestasi. Belajar dari yang sudah pernah terjun ke bidang tersebut merupakan salah satu usaha yang cukup efektif untuk bisa mendapatkan gambaran aman proses end-to-end saat berinvestasi. 

Semoga beberapa tips yang dibahas di atas dapat membantu kita agar lebih bijak dalam berinvestasi. Semakin kompleksnya zaman dan digitalisasi turut menuntut kita untuk lebih berhati-hati dalam mengambil setiap tindakan, termasuk berinvestasi. Adaptasi perilaku, pikiran, dan cara merespons keadaan sekitar menjadi faktor penting untuk membantu kita dalam mengambil keputusan investasi yang tepat, tanpa hanya mengikuti trend dan asumsi tak berdasar semata. 

Referensi : 

Al-fafa, I. T. (2020). Pengaruh Financial Literacy, Income, Materialism terhadap Perilaku Perencanaan Dana Pensiun pada Generasi Millenial dengan Impulsive Buying sebagai Variabel Mediasi (Doctoral dissertation, STIE Perbanas Surabaya).

Amin, R., & Rifai, B. (2019). SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMILIHAN INVESTASI IDEAL BAGI GENERASI MILLENIAL. Jurnal Mantik Penusa, 3(3).

Fatiah, R. S. Pengaruh pengetahuan, motipasi, ekspektasi retrun, dan persepsi risiko investasi terhadap minat generasi millenial dalam berivestasi di pasar modal syari’ah (Bachelor’s thesis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis uin jakarta).

Rudiwantoro, A. (2018). Langkah Penting Generasi Millennial Menuju Kebebasan Finansial Melalui Investasi. Jurnal Moneter, 5(1).

Santoso, E. (2017). Millenial Finance. Gramedia Widiasarana.

YULIANA, Y. (2020). AKTIVITAS PUBLIKASI KAMPANYE YUK NABUNG SAHAM TAHUN 2018 DI MEDIA SOSIAL TWITTER DALAM MEMBENTUK KESADARAN BAGI KAUM MILLENIAL (Doctoral dissertation, Universitas Mercu Buana Jakarta).

Fabre, Bruno and Alan-Francois Heude. 2009. Optimism and Overconfidence Investors’ biases: a methodological note. Dans Finance (79 A 119)

Simon, Herbert. 1955. A Behavioural Model of Rational Choice. The Quarterly Journal of Economics,vol. 69.

DeBondt, Werner F., and Richard Thaler. 1985. Does the Stock Market Overreact? Journal of Finance, vol. 40, No. 3, p 793-805.